Bepergian Lewat Jalur Darat Bandung-Jakarta-Surabaya-Bali
Terakhir kali bepergian lewat jalur darat ke tempat yang cukup jauh, kayaknya pas solo traveling ke Karimun Jawa empat tahun lalu. Biasanya Bandung-Bali, Bali-Jakarta, Bali-Bandung naik pesawat. Tahun ini menjelang hari yang cukup spesial, gue berkesempatan melakukan perjalanan darat Bandung-Jakarta-Surabaya-Bali.
Sobat gue yang kerja di Bali pulang kampung saat libur Lebaran. Ngeliat dia pulang kampung lewat jalur darat dari Bali ke Jakarta, gue langsung gercep nanya ke dia apakah balik ke Bali nya bakal lewat jalur darat lagi. Doi mengiyakan. Gue semangat, bakal ke Bali bareng dia lewat jalur darat.
Sebetulnya ada bis Bandung-Bali. Tapi karena gue pengen barengan sama dia, gue ke Jakarta dulu dari Bandung. Naik shuttle travel Kamis malem, berangkat jam 9. Sampe di Jakarta pas tengah malem. Gue bermalam di kosan temen kantor lama. Cuma numpang semalem, besokan paginya cus.
Pagi-pagi banget gue berangkat menuju terminal Pulo Gebang. Dari daerah utara, gue naik Transjakarta yang jurusan Kampung Melayu, transit untuk lanjut ke terminal Pulo Gebang. Sebenernya janjian sama sobat gue jam 9 pagi, gue nyampe lebih awal. Gue sarapan roti sambil nonton FTV di ruang tunggu.
Gue udah lama gak ke terminal di daerah Jakarta. Ternyata udah dibangun dengan rapi dan lebih nyaman. Buat yang baru pertama kali ke terminal, harus tetap waspada sama barang bawaan dan keselamatan. Bakal banyak yang nanya tujuan lo, mau naik apa, bahkan bisa sampe kayak maksa. Gue menanggapinya dengan senyum dan sambil terus jalan tanpa menjawab sepatah katapun.
Buat ke Surabaya dari Jakarta, sobat gue ngasih tahu bahwa kami akan naik bis Tiara Mas atau Mawar. Tapi waktu gue sampe terminal, loketnya belum buka. Mungkin karena masih hawa-hawa Lebaran, terminal belum beroperasi sepenuhnya. Tapi sekitar jam 10, dua loket itu akhirnya buka.
Tiara Mas berangkat jam 4 sore, jadi kami gajadi pilih itu. Mawar baru berangkat sore dan malem juga. Akhirnya kami cari-cari opsi lain. Dipilih lah bis Lorena executive. Jakarta-Surabaya Rp 350.000,- per orang, ada toiletnya, dikasih jatah makan satu kali.
Kami nunggu beberapa jam sebelum bis berangkat. Bolak-balik ke toilet dulu, beli nasi buat dimakan di bis, nge-charge HP di ruang tunggu atas. Bis Lorena jalan dari Jakarta jam 12 siang, waktu itu hari Jumat. Yeay, akhirnya berangkat juga.
Kursinya cukup nyaman, AC kerasa. Tapi gatau karena kulit gue terlalu sensitif, atau memang ada serangga lewat, beberapa bagian lengan dan pinggang gue bentol-bentol. Dari Jakarta kami lewat Jawa Barat, ke Indramayu. Kami sempat berhenti di rumah makan. Karena masih sore, gue dan sobat gue bungkus jatah nasinya untuk dimakan malem hari di bis.
Pas udah lumayan gelap, gak sengaja lewat Deus di daerah Cirebon. Bukan Deus Ex Machina yang di Canggu. Tapi tempat cuci mobil & cuci motor. Kocak!
Semaleman kami tidur, bangun, dengerin lagu, ngobrol-ngobrol. Pokoknya gimana caranya gak bosen selama perjalanan. Sebetulnya pantat udah rada ba’al. Punggung ke pinggang udah rada pegel. Yaudah, tidur aja dah biar perjalanan gak berasa. Hehe…
Sabtu subuh Mas-Mas di depan kursi kami bangunin, “Mbak, mau ke terminal Surabaya kan?” Lalu gue jawab iya. Dan kami dikasih tahu untuk turun. Bergegaslah kami bangun dan turun dari bis karena bis akan lanjut ke pelabuhan Tanjung Perak.
Gue dan sobat gue masih setengah ngantuk, tapi emang harus udah turun. Kami nunggu di halte, agak bingung mau naik apa ke terminal Surabaya. Terus dikasih tahu sama Abang ojek yang lagi duduk di halte buat naik bis Damri ke terminal. Nunggu sekitar sejam, akhirnya Damri dateng. Kami naik.
Di tengah perjalanan, sobat gue terpikir pengen jalan-jalan dulu di kota tua Surabaya. Akhirnya kami turun di persimpangan jalan, lanjut naik ojek online, sempat ngelewatin Tugu Pahlawan dan akhirnya turun di kota tua Surabaya, dekat Jalan Gula.
Kami sempat berfoto, jalan memutar ke dekat gapura bergaya oriental, dan tembus lagi ke Jalan Gula.
Setelah sampai di persimpangan jalan jembatan merah, kami sempat menyeberang dan ngobrol dengan Ibu penjual pecel semanggi di jembatan.
Sebelum menunggu bis Damri ke arah terminal, kami sempat jalan sebentar di Taman Sejarah. Sobat gue kagum dengan apa yang sudah dilakukan Bu Risma untuk Surabaya. Gue juga melihat jalan-jalan di Surabaya bersih, taman-taman tematik tersebar di sejumlah kawasan. Taman-taman ini mengingatkan gue dengan taman-taman di Bandung yang dicetuskan oleh Kang Emil.
Kami menaiki bis Damri, menikmati jalanan kota Surabaya layaknya penduduk lokal. Gue berusaha mencari perbedaan bahasa jawa di Surabaya dengan bahasa jawa yang sering gue dengar dari keluarga gue yang berasal dari Jogja dan Solo. Hasilnya nihil, bahkan untuk mengerti apa yang mereka katakan saja gue keteteran :D
Ga sampe setengah jam, kami tiba di terminal Purabaya atau yang sering disebut terminal Bungurasih. Sesampainya di terminal, kami menuju warung makan. Sarapan nasi pecel, numpang nge-charge HP, ke toilet, dan merencanakan akan lanjut naik bis apa.
Setelah selesai menjalankan ritual pagi, kami melewati loket. Bis executive ke Bali dipatok Rp 250.000,-. Gue berpikir, kalo kami naik bis executive dengan tarif segitu ngapain kami lewat jalur darat yang tujuannya menekan budget perjalanan. Lalu kami tanya-tanya ke petugas perhubungan dan menjelaskan bahwa kami mencari bis biasa. Kami diantar ke parkiran bis-bis ekonomi. Sempat tawar-menawar, di-ping-pong ke sana, ke sini. Jika membayangkan kejadian itu lagi, gue berpikir seperti dua orang calon TKW yang tidak tahu nasibnya akan dibawa ke mana. (Oke, itu pemikiran yang terlalu ekstrim)
Kami naik bis ekonomi, Ladju dengan tarif Rp 150.000,- per orang. Kernet memberi tiket tipis yang tujuannya ke Denpasar. Di awal memang diberitahu bahwa kami akan dioper, dari Jember nanti lanjut naik bis ke Bali. Naiklah kami ke bis tanpa AC, tapi AG (Angin Gelebug :D). Sekitar sejam menunggu penumpang, akhirnya bis melaju pukul 12 siang.
Kemampuan Pak sopir tidak perlu diragukan lagi. Di medan apapun, jalan sekecil apapun, bis melaju dengan kencang tanpa membuat bis oleng. Jika di depan ada motor atau kendaraan, klakson dibunyikan. Jika di jalur kiri ada kendaraan dan bis akan berbelok ke kanan, klakson dibunyikan. Yang pasti deg-deg ser sekaligus excited sepanjang perjalanan. Terharu juga, ngebut-ngebutan Surabaya-Jember, kami berdua sampai dengan selamat, anggota tubuh kami masih lengkap, barang bawaan kami masih aman.
Turun di Jember menjelang matahari terbenam, kami oper bis. Ngetem nya mayan lama tuh di Jember. Nunggu, nunggu…akhirnya jalan. Berhenti di warung kecil, kami turun untuk beli pop mie dan ke toilet. Diklaksonin karena bis akan lanjut jalan.
Bis sampai di pelabuhan Ketapang menjelang tengah malam. Nyebrang sekitar 45 menit dari Banyuwangi ke Gilimanuk. Sampai juga akhirnya di Bali. Masih lanjut jalan ke terminal Mengwi. Perhentian terakhir bis di terminal Mengwi, sudah pukul 3 subuh. Hari Minggu. Dari Mengwi masih cukup jauh ke kosan kami. Dipilihlah taksi mobil APV dari Mengwi ke terminal Ubung. Di awal blih menawarkan Rp 15.000,- per orang. Tapi karena jumlah penumpang kurang dari 10 orang, blih mematok harga sepihak jadi Rp 20.000,- per orang. Udah ngantuk, pengen cepet nyampe, yaudahlah cus.
Pesan ojek online di terminal Ubung susah juga, beberapa driver menolak menjemput. Kami jalan kaki ke perempatan Cokroaminoto dan pesan ojek online dari situ. Menunggu sekitar setengah jam, akhirnya kami dijemput ojek online masing-masing dan sampai di kosan.
Begitulah pengalaman bepergian lewat jalur darat Bandung-Jakarta-Surabaya-Bali. Mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat dan menambah referensi kamu-kamu yang ingin merasakan sensasi berbeda. Kesempatan seperti ini juga bisa makin mengakrabkan kita dengan sobat/ pasangan, bisa tahu sisi lain dan sifat asli seseorang dalam menyikapi sesuatu. Walaupun cukup melelahkan, yang pasti seru banget sih. Selamat mencoba! :)
Makasih buat ceuk Titus yang jadi tandoman traveling kali ini. Sampai jumpa di perjalanan seru lainnya!